BARRU, SULAWESI SELATAN. | Nama AKP Iriansyah menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat usai videonya yang diduga mengintimidasi jurnalis saat peliputan aktivitas tambang galian C di wilayah Mallusetasi tersebar luas di jagat maya. Kejadian yang berlangsung di Kelurahan Mallawa, Kecamatan Mallusetasi, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, pada Kamis, 16 Oktober 2025 lalu, memperlihatkan perwira polisi berpangkat ajun komisaris itu mengenakan seragam dinas lengkap, menghampiri rombongan wartawan yang tengah melakukan dokumentasi dan peliputan dugaan aktivitas pertambangan ilegal. Dalam rekaman video, AKP Iriansyah terlihat menyuruh para jurnalis untuk menghentikan pengambilan gambar, bahkan meminta kartu identitas serta surat tugas peliputan dari wartawan yang berada di lokasi. Ketegangan pun tak terhindarkan di lapangan, karena sejumlah jurnalis merasa tindakan tersebut telah melampaui kewenangan serta bertentangan dengan prinsip kerja pers.
Para wartawan yang berada di lokasi saat itu sempat mengingatkan bahwa kegiatan jurnalistik memiliki perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Mereka menegaskan bahwa tindakan menghalang-halangi kerja jurnalistik termasuk bentuk intimidasi terhadap kebebasan berekspresi dan dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum yang serius. Video berdurasi sekitar dua menit itu kemudian tersebar luas di berbagai platform media sosial dan aplikasi berbagi pesan, memicu gelombang kecaman dari masyarakat sipil, aktivis kebebasan pers, bahkan mendapat sorotan dari organisasi profesi wartawan. Banyak pihak menilai tindakan aparat tersebut mencederai spirit demokrasi dan menjadi preseden buruk bagi perlindungan jurnalis di lapangan.
Merespons cepat viralnya insiden tersebut, jajaran Polres Barru langsung mengambil langkah penanganan guna meredam gejolak dan menjaga wibawa institusi kepolisian. AKP Iriansyah dilaporkan telah diperiksa oleh Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) untuk dimintai keterangan terkait tindakan yang dilakukan saat berada di lapangan. Kapolres Barru turut memanggil yang bersangkutan guna mendengar langsung klarifikasi dan penjelasan terkait peristiwa yang telah mencoreng citra kepolisian tersebut. Setelah menjalani serangkaian pemeriksaan internal, AKP Iriansyah akhirnya menyampaikan permintaan maaf terbuka kepada para jurnalis dan masyarakat atas tindakan yang terjadi. Dalam pernyataannya, ia mengakui telah bertindak kurang tepat dan menyebut bahwa insiden itu terjadi dalam kondisi di mana situasi di lapangan sempat memanas dan memicu salah tafsir atas kehadiran wartawan.
Namun, polemik belum sepenuhnya mereda ketika publik kembali dihebohkan oleh informasi yang beredar mengenai laporan harta kekayaan AKP Iriansyah di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam dokumen laporan tertanggal 11 Januari 2025, nama AKP Iriansyah tercantum memiliki total kekayaan senilai Rp4,25 miliar. Angka tersebut menarik perhatian karena tergolong besar jika dibandingkan dengan sejumlah pejabat setingkatnya, bahkan disebut-sebut melampaui jumlah harta kekayaan Kapolres Barru sendiri. Dari total kekayaan tersebut, sebagian besar berasal dari kepemilikan aset berupa tanah dan bangunan, senilai kurang lebih Rp4,1 miliar. Sisanya berasal dari kendaraan bermotor, kas dan setara kas, serta harta bergerak lainnya. Hingga saat ini belum ada keterangan resmi dari yang bersangkutan terkait sumber kekayaan yang dimilikinya. Namun, kemunculan nilai fantastis tersebut telah memancing atensi publik yang menuntut transparansi dan akuntabilitas aparat dalam melaporkan kekayaan secara jujur dan terbuka.
Kasus ini menjadi refleksi penting bagi aparat penegak hukum di seluruh level untuk menjadikan perlindungan terhadap kebebasan pers sebagai bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan tugas dan tanggung jawab mereka. Demokrasi yang sehat tidak dapat tumbuh tanpa ruang yang aman bagi wartawan dalam menjalankan profesinya. Tugas jurnalis bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi juga menjaga akuntabilitas publik, termasuk terhadap institusi penegak hukum. Oleh karenanya, sikap represif terhadap jurnalis bukan saja melukai etika demokrasi, tetapi juga menjauhkan aparat dari kepercayaan masyarakat. Perlu ada komitmen nyata dari seluruh institusi keamanan agar menjunjung tinggi kebebasan pers sebagai fondasi negara hukum yang menjamin hak warga untuk memperoleh informasi yang jujur, berimbang, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Laporan: 🇹🇪🇦🇲 🇷🇦🇩🇦🇷
(Fernando. H)



 
  
					 






 
						 
						 
						 
						 
						


























