Dunia pendidikan kembali dikejutkan dengan peristiwa memprihatinkan. Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) milik Universitas Mulawarman (Unmul) di Samarinda yang semestinya menjadi laboratorium alam untuk kegiatan akademik dan penelitian, kini rusak akibat ulah tambang ilegal. Lahan seluas 3,2 hektar dibabat tanpa izin oleh oknum perusahaan tambang.
Rektor Unmul, Abdunnur, pada Rabu, 9 April 2025 secara terbuka mengecam perusakan tersebut. Ia menegaskan bahwa tindakan itu tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga telah mengganggu kegiatan belajar-mengajar di lingkungan kampus. Bahkan sejak tahun 2024, perusahaan tambang tersebut sempat mengajukan surat permohonan kerja sama. Namun karena tidak mendapatkan persetujuan, perusahaan seharusnya tidak melanjutkan aktivitas apapun di wilayah tersebut. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya.
Kejadian ini menyentil nurani banyak pihak. Bagaimana mungkin kawasan yang berstatus hutan pendidikan dan jelas-jelas dilindungi hukum, bisa begitu saja digarap oleh tambang ilegal? Fakta ini menunjukkan bahwa hukum di negeri ini kerap tidak berjalan, atau bahkan dengan mudah dikesampingkan ketika berhadapan dengan kekuatan modal.
Lambannya respons aparat dan pemerintah menambah panjang daftar ironi penegakan hukum di Indonesia. Sekadar mengecam, meninjau lokasi, atau merancang penghijauan pasca kejadian tak cukup untuk menyelesaikan akar masalah. Selama sistem hukum tidak berubah, pelanggaran semacam ini akan terus berulang.
Ironisnya, sistem demokrasi kapitalis yang diterapkan saat ini justru memberi ruang besar bagi kepentingan korporasi. Hukum sering kali berpihak pada pemilik modal, bukan pada rakyat atau lingkungan. Salah satu contoh nyata adalah perubahan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 pasal 35a tentang Minerba, yang secara tidak langsung meringankan sanksi terhadap aktivitas tambang tak berbadan hukum. Alih-alih memberi hukuman tegas kepada korporasi, hukum hanya menargetkan pelaku individu.
Di sinilah letak persoalan utama. Negara dalam sistem kapitalisme telah berubah menjadi pelayan para kapitalis. Maka, tidak mengherankan jika kerusakan lingkungan, konflik agraria, dan eksploitasi sumber daya alam semakin sulit dihentikan.
Mahasiswa dan civitas akademika tidak boleh pasif menghadapi kondisi ini. Sebagai bagian dari kelompok intelektual, mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk bersuara dan menyampaikan kebenaran. Namun perjuangan mereka tidak cukup jika hanya sekadar reaktif. Diperlukan pandangan yang menyeluruh—yang tidak hanya menolak praktik tambang ilegal, tetapi juga mengkritisi sistem yang melahirkannya dan menyerukan sistem alternatif.
Dalam pandangan Islam, sumber daya alam seperti hasil tambang termasuk dalam kategori kepemilikan umum. Rasulullah SAW bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api (energi)” (HR. Abu Dawud).
Oleh karena itu, tambang tidak boleh dikuasai oleh individu atau korporasi swasta, apalagi secara ilegal. Pengelolaan tambang harus dilakukan oleh negara, untuk kepentingan umat.
Negara dalam sistem Islam (Khilafah) bertindak sebagai pengelola, bukan pemilik. Ia bertanggung jawab untuk memastikan hasil tambang digunakan untuk kepentingan publik, seperti membiayai pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Jika terjadi praktik tambang ilegal, negara akan memberi sanksi tegas dan cepat, tanpa intervensi kekuasaan modal. Negara juga wajib menjaga kelestarian lingkungan sebagai amanah dari Allah SWT.
Dengan sistem Islam, hukum ditegakkan tanpa tebang pilih, lingkungan dijaga, dan SDAE dikelola untuk kemaslahatan seluruh rakyat. Inilah solusi hakiki yang tidak hanya menyelesaikan kasus tambang ilegal di Unmul, tetapi juga berbagai krisis yang timbul akibat kerakusan kapitalisme.