RADAR NEWS | Fenomena ketimpangan penegakan hukum yang kian mencolok kembali menjadi sorotan tajam publik. Masyarakat mulai mempertanyakan arah dan integritas sistem hukum di Indonesia yang, dalam banyak kasus, tampak berjalan tak seimbang. Proses hukum yang semestinya menjadi pilar keadilan, perlahan berubah menjadi ruang transaksional yang dikendalikan oleh uang dan kekuasaan. Terlalu sering publik disuguhi kenyataan pahit: ketika seorang berpangkat atau berkantong tebal melapor, hukum seketika bergerak cepat, seolah tanpa hambatan. Namun, ketika rakyat kecil mengetuk pintu keadilan, jawaban yang datang justru berupa sunyi, tangguhan tak berujung, bahkan keputusasaan.
Contoh demi contoh menumpuk, menghadirkan ironi yang menyakitkan. Di satu sisi, kita melihat aparat penegak hukum bertindak gesit menanggapi laporan dari kalangan elit. Tak perlu menunggu lama, prosedur hukum segera dijalankan, penyelidikan langsung dibuka, dan konferensi pers dilangsungkan menyebarkan narasi penegakan keadilan yang gagah. Tapi di sisi lain, ketika seorang petani kehilangan lahan karena ulah mafia tanah, atau buruh kecil ditipu upahnya oleh perusahaan nakal, proses hukum mendadak lambat. Laporan yang dilayangkan tak kunjung diproses. Bukti yang sudah dikumpulkan tidak cukup menarik perhatian. Dan waktu pun bergulir tanpa kepastian sampai akhirnya masyarakat lupa, atau kehilangan semangat untuk memperjuangkan perkara yang sedari awal memperjuangkan hak.
Hukum, yang seharusnya menjadi alat untuk memastikan perlakuan setara bagi setiap warga negara, perlahan menjelma menjadi medan permainan elit kuasa. Publik pun bertanya, ke mana arah hukum di negeri ini? Mengapa hukum seakan hanya berpihak bila didorong oleh sumber daya? Mengapa aparat penegak hukum cenderung lebih tanggap kepada pengaduan yang datang dari balik meja kaca ruang ber-AC, ketimbang rakyat yang datang dengan berkas di tangan dan harapan di hati? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tak kunjung jelas. Yang terasa hanya tifanya ketegasan, absennya kesetaraan, dan menguatnya kesan bahwa keadilan dapat dipaket sesuai kemampuan finansial.
Kesadaran masyarakat akan ketimpangan ini bukan baru tumbuh kemarin sore. Dalam diskursus sosial, khususnya di media sosial dan ruang publik, keresahan semacam ini telah menjadi topik yang berulang. Frasa “jalan hukum orang miskin adalah kesabaran” kian relevan diucapkan. Banyak pula yang memilih tak lagi mempercayai sistem formal dan menggantungkan diri pada mediasi non-formal atau bahkan menyerah. Padahal, ini adalah gejala yang sangat serius. Ketika masyarakat tak lagi percaya pada proses hukum, maka yang runtuh tak hanya institusi hukum itu sendiri, tapi juga sendi kepercayaan publik kepada negara. Tak ubahnya fondasi rumah yang keropos, negara pun tak lagi kokoh bila hukum bisa dibeli atau diarahkan dengan kekuasaan.
Ironi hukum sebagai panglima keadilan kini berada di persimpangan. Publik kian terdidik dan tak bisa dibohongi dengan janji-janji normatif yang berputar-putar di balik meja kekuasaan. Masyarakat menunggu jawaban dalam bentuk nyata, bukan pidato atau konferensi pers yang hanya mengulangi jargon-jargon lama. Di tengah suara-suara kritis yang kini tumbuh dari berbagai kalangan, dari masyarakat adat hingga kaum intelektual muda, hanya satu harapan yang mereka gaungkan: kembalikan hukum pada tempatnya. Jadikan hukum alat untuk membela yang lemah, bukan tameng bagi yang kuat.
Negara tidak akan runtuh hanya karena kritik terhadap sistemnya. Ia akan runtuh bila menutup mata dari kenyataan pahit yang terus terjadi di tengah masyarakatnya. Dan kenyataan hari ini menunjukkan, ketimpangan dalam memperlakukan warga negara di hadapan hukum telah menjadi penyakit yang merusak akar keadilan itu sendiri. Tanpa keberanian untuk menindak kesewenang-wenangan, dan tanpa ketegasan dalam menempatkan hukum sebagai pelindung semua, cita-cita negara hukum hanya akan tinggal dalam teks pembukaan konstitusi.
Di tengah rasa lelah yang melanda rakyat kecil dalam mengejar proses hukum yang rumit dan berat sebelah, tersisa satu pertanyaan yang mencuat dari lubuk hati terdalam: apakah keadilan masih mungkin diperoleh, jika yang mengatur hukum adalah uang? Dalam keheningan yang menyakitkan, pertanyaan ini menggantung, menunggu dijawab bukan dengan kata-kata, melainkan dengan tindakan nyata.
FERNANDO.H




































